Home » , , , , , , , , , , » Amazing Down Trip: Rihlah Awal Tahun 2015 Part 2 (Edisi Rihlah Season 1 Etam 2012)

Amazing Down Trip: Rihlah Awal Tahun 2015 Part 2 (Edisi Rihlah Season 1 Etam 2012)

Written By Unknown on Jumat, 09 Januari 2015 | 16.39

Udara mendukung mataku yang terpikat pada hutan, dingin dan sejuk yang aku rasakan. Karena kami berangkat jam tujuh pagi kurang. Sehingga jalanan tidak terlalu ramai, kami bisa santai dan tidak perlu khawatir akan kesiangan sampai di tempat tujuan. Tidak ada yang sia – sia memang jika melakukan sesuatu lebih cepat di awal. Dan ini memang rencana kami. Itu artinya rencana berjalan lancar, di awal perjalanan demikianlah kira – kira kondisinya.

Perjalanan pergi terasa lama jika aku rasakan dibanding dengan perjalanan pulang, saat berangkat aku tidak menghitung berapa banyak waktu yang diperlukan dan saat pulang aku sempat memperkirakan waktu tempuh dan berapa lama waktu yang ku tempuh. Perjalanan pulang kami terasa lebih cepat. Faktornya akan aku jelaskan nanti saat waktunya perjalanan pulang.

Kisah perjalanan kami pun sudah sampai di Tenggarong lebih tepatnya Tenggarong Seberang yaitu di Stadion Tenggarong yang merupakan jalan pintas menuju penyeberangan ke Tenggarong kota. Dari arah stadion ternyata kami masih harus terus dan terus dan terus sampai pada penyeberangan terakhir lalu kami menyeberang dengan perahu warga. Tentu saja jasa penyeberangan ini tidak gratis alias berbayar. Per motor dikenakan biaya Rp 3000 . Itu adalah tarif termurah. Kata teman, makin jauh ke ujung lokasi penyeberangan yang diambil, makin murah tarif yang diberikan. Sebab lokasi merapat di seberang pun makin jauh dari kota Tenggarong. Intinya makin dekat ke kota Tenggarong makin tinggi tarif yang diberlakukan.

Menyeberang sungai Mahakam ini hanya memakan waktu tidak sampai sepuluh menit bahkan tidak terasa sama sekali. Tapi Arini merasa takut mabuk dan Puji merasa takut dan aku merasa geli. Yah itu perasaan mereka yang belum pernah menyeberang di sini. Mungkin belum pernah ke Tenggarong juga, aku sering ke Tenggarong meski hanya lewat saja, setidaknya itu membuatku biasa saja saat menaiki kapal untuk menyeberang. Setelah aku ingat – ingat aku juga merasa biasa saja saat pertama kali menyeberang di sini. Yah memang jiwa petualanganku membuatku selalu tertantang dengan perjalanan yang menyenangkan seperti ini.

Kami akhirnya tiba di seberang dan itu artinya kami berada di Tenggarong bagian kota. Tapi karena rute perjalanan kami adalah ke desa Sebulu terlebih dahulu. Maka begitu merapat di seberang, arah perjalanan kami selanjutnya adalah belok ke arah kanan, karena kalau belok ke arah kiri kita akan langsung menuju ke Tenggarong kota. Ke arah kanan kami melanjutkan perjalanan darat menuju rumah Rafi’i, dengan perjalanan yang biasa saja. Namun ada yang menarik dari perjalanan ini. Bagian menarikanya adalah karena kami kompak bersama – sama sebanyak sembilan orang, kami melewati jalanan yang panjang, kami pegal – pegal karena kami mengendarai motor, dan kami lapar karena sarapannya kurang banyak (bukan nasi soalnya) dan jalanan yang kami lalui itu tidak semuanya mulus. Ada beberapa bagian yang aku anggap lucu, sayangnya aku tidak ingat bagaimana detailnya sehingga bagian itu kita lewati saja ya, tidak diceritakan di sini.

Belum lagi aku harus menyelesaikan tulisan ini segera, sebelum sore hari, deadline yang diberikan oleh pendamping angkatan kami. Terlalu banyak yang aku tulis tentunya akan lama juga tulisanku ini akan berakhir. Tapi aku tidak bisa mengabaikan suara yang ada dalam otakku untuk tidak aku tulis, karena jari – jariku bergerak sesuai dengan yang otakku suarakan. Hei aku baru sadar kalau otakku bersuara sejalan dengan jariku mengetik. Berbeda jika aku menyuarakannya lewat mulut tentu akan terbata – bata dalam menyebutkannya. Apakah kalian begitu juga saat menulis? Ternyata aku sering mengalaminya. Ehem! Sepertinya ini sudah lewat dari topik, sebaiknya segera kembali ke cerita sebelum waktunya habis. Back to the story.

Setelah melewati jalanan yang sedikit sulit dan mampu membuat kami sempat terpisah jauh, kami pun sampai di ujung jalan, yaitu sungai (lagi). Ini artinya kami harus menyeberang lagi. Menyeberang di titik itu tidak lama karena aku hanya sempat membuka kotak makanku dan mengeluarkan tiga potong roti untuk tiga temanku yang mau. Sepotong roti yang mereka makan habis seiring habisnya perjalanan di kapal penyeberangan. Begitu sampai di seberang perjalanan kami belum berakhir. Temanku Puji sudah tidak sabar untuk segera sampai dan terus bertanya apakah masih jauh atau sudah dekat.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Dan akhirnya kami sampai di rumah Rafi’i. Salam dan ketakjubanku sudah aku ungkapkan di awal jadi ceritanya langsung ke bagian kami di dalam rumah ya. Ah cerita ini terasa begitu monoton pengemasannya karena aku di buru waktu. Maaf pembaca aku harus meningkatkan kisah perjalanan ini.

Sampai di rumah Rafi’i kami bertemu dan bersalaman dengan bapak dan ibunya Rafi’i. Wow.. mereka adalah keluarga yang mirip satu sama lain. Aku yakin yang lain berpendapat demikian. Tak lama melepas penat kami duduk di dalam rumahnya yang aku bilang ini keren. Desainnya yang menakjubkan. Maaf no time menjelaskan bagaimana bentuknya. Sekali lagi karena waktu yang terbatas. Penat kami hilang dapat hidangan kue dari sagu juga air putih dan disusul dengan makan siang. Wow enak sekaliii.

Seusai makan, dengan perasaan yang aku juga tidak begitu paham perasaan ini bagaimana aku, Fauziah dan Widya pergi ke belakang untuk membantu cuci piring ditemani ibunya rafi’i. Aku yang mencuci, Widya yang membilas dan Fauziah yang mengobrol dengan ibunya Rafi’i. Selesai dari sana kami berkunjung ke rumah pamannya Rafi’i yang ada di samping rumah Rafi’i. Setelah itu kami berfoto bersama mereka dan selanjutnya pergi untuk rute selanjutnya yaitu ke Tenggarong.

Tenggarong tidak begitu menarik perhatianku,karena dari keseluruhan perjalanan ini yang menarik bagiku adalah perjalanan itu sendiri dan bukan tempat tujuan. Di musium tidak ada yang begitu menarik perhatianku kecuali sedikt yaitu akin tenun. Ruangan yang sepi dan gelap dan sepertinya tidak banyak menari perhatian orang itu justru menarik perhatianku. Maaf lagi – lagi aku tidak bisa menjelaskan detailnya. Aaahhh, ada banyak yang ingin aku sampaikan tapi waktu berkata lain.

Beranjak dari musium Tenggarong kunjungan kami lanjutkan ke Planetarium Tenggarong. Di sana tidak banyak ternyata yang dapat di saksikan seperti bayanganku. Kami hanya menyaksikan pertunjukkan berdurasi 45 menit dengan konten tata surnya dan film animasi pendek. Arini dan fauziah sempat mengalami pertunjukkan mereka sendiri di luar pertunjukkan yang ditampilkan. Aku hanya bisa tertawa sambil menikmatinya. Mereka berdua tertidur dalam “bioskop” itu. Hehehe. Dengan berakhirnya pertunjukkan maka berakhir pula perjalanan kami ini. Saatnya perjalanan pulang.

Aku bahkan tidak sempat merasakan lapar karena perjalanan ini. Andai kata ada lebih banyak waktu untuk menunggu mungkin aku akan benar – benar merasakan kelaparan tapi karena banyak waktu untuk perjalanan aku bahkan lupa bagaimana rasanya lapar. Perjalanan pulang tidak sesuai dengan rencana. Rencana kami akan pulang pukul 3 sore ternyata sampai di rumah kami setelah masuk waktu Ssya. Perjalanan pulang terasa lebih cepat karena kami mempercepat laju kendaraan kami sehingga waktu yang diperlukan pun lebih sedikit untuk sampai di rumah. Huwaaahhh, perjalanan yang melelahkan namun menyenangkan. 

–Selesai-

Oleh Sanda Hakim Saputri. Mahasiswi Pendidikan Biologi, FKIP Unmul, Angkatan 2012.
Share this article :
 
Support : Dhompet Dhuafa | ETOS SAMARINDA | Hickmat Creative
Copyright © 2014. ETOS SAMARINDA - All Rights Reserved
Site Created by Hickmat Published by ETOSER SAMARINDA
Proudly powered by Blogger