Udara
mendukung mataku yang terpikat pada hutan, dingin dan sejuk yang aku rasakan.
Karena kami berangkat jam tujuh pagi kurang.
Sehingga jalanan tidak terlalu ramai, kami bisa santai dan tidak perlu khawatir
akan kesiangan sampai di tempat tujuan. Tidak ada yang sia – sia memang jika
melakukan sesuatu lebih cepat di awal. Dan ini memang rencana kami. Itu artinya
rencana berjalan lancar, di awal perjalanan demikianlah kira – kira kondisinya.
Perjalanan
pergi terasa lama jika aku rasakan dibanding dengan perjalanan pulang, saat
berangkat aku tidak menghitung berapa banyak waktu yang diperlukan dan saat
pulang aku sempat memperkirakan waktu tempuh dan berapa lama waktu yang ku
tempuh. Perjalanan pulang kami terasa lebih cepat.
Faktornya akan aku jelaskan nanti saat waktunya perjalanan pulang.
Kisah perjalanan kami pun sudah
sampai di Tenggarong lebih tepatnya Tenggarong
Seberang yaitu di Stadion
Tenggarong yang merupakan jalan pintas menuju
penyeberangan ke Tenggarong kota. Dari arah stadion
ternyata kami masih harus terus dan terus dan terus
sampai pada penyeberangan terakhir lalu
kami menyeberang dengan perahu warga. Tentu saja jasa penyeberangan
ini tidak gratis alias berbayar. Per motor dikenakan
biaya Rp 3000 . Itu adalah
tarif termurah. Kata teman, makin jauh ke ujung lokasi penyeberangan yang
diambil, makin murah tarif yang diberikan. Sebab lokasi merapat di seberang pun
makin jauh dari kota Tenggarong. Intinya makin dekat ke kota Tenggarong makin
tinggi tarif yang diberlakukan.
Menyeberang
sungai Mahakam ini
hanya memakan waktu tidak sampai sepuluh menit bahkan tidak terasa sama sekali.
Tapi Arini
merasa takut mabuk dan Puji
merasa takut dan aku merasa geli. Yah itu perasaan mereka yang belum pernah
menyeberang di sini. Mungkin belum pernah ke Tenggarong
juga, aku sering ke Tenggarong meski hanya lewat saja,
setidaknya itu membuatku biasa saja saat menaiki kapal untuk menyeberang.
Setelah aku ingat – ingat aku juga merasa biasa saja saat pertama kali
menyeberang di sini. Yah memang jiwa petualanganku membuatku selalu tertantang
dengan perjalanan yang menyenangkan seperti ini.
Kami
akhirnya tiba di seberang dan itu artinya
kami berada di Tenggarong bagian kota. Tapi
karena rute perjalanan kami adalah ke desa Sebulu
terlebih dahulu. Maka begitu merapat
di seberang, arah
perjalanan kami selanjutnya adalah belok ke arah kanan,
karena kalau belok ke arah kiri kita akan langsung menuju ke Tenggarong kota. Ke arah kanan kami melanjutkan perjalanan darat menuju
rumah Rafi’i, dengan perjalanan yang biasa
saja. Namun ada yang menarik dari
perjalanan ini. Bagian menarikanya adalah karena
kami kompak bersama – sama sebanyak sembilan orang,
kami melewati jalanan yang panjang, kami pegal – pegal karena kami mengendarai
motor, dan kami lapar karena sarapannya kurang banyak (bukan nasi
soalnya) dan jalanan yang kami lalui itu tidak semuanya mulus. Ada
beberapa bagian yang aku anggap lucu, sayangnya aku tidak ingat bagaimana
detailnya sehingga bagian itu kita lewati saja ya, tidak diceritakan di sini.
Belum lagi aku harus menyelesaikan tulisan ini
segera, sebelum sore hari, deadline yang
diberikan oleh pendamping angkatan kami. Terlalu banyak yang aku tulis
tentunya akan lama juga tulisanku ini akan berakhir. Tapi aku tidak bisa
mengabaikan suara yang ada dalam otakku untuk tidak aku
tulis, karena jari – jariku bergerak sesuai dengan yang otakku suarakan. Hei…
aku baru sadar kalau otakku bersuara sejalan dengan jariku mengetik. Berbeda
jika aku menyuarakannya lewat mulut tentu akan terbata – bata dalam
menyebutkannya. Apakah kalian begitu juga saat menulis? Ternyata aku sering
mengalaminya. Ehem! Sepertinya ini sudah
lewat dari topik, sebaiknya segera kembali ke cerita sebelum waktunya habis. Back to the story.
Setelah
melewati jalanan yang sedikit sulit dan mampu membuat kami sempat
terpisah jauh, kami pun sampai
di ujung jalan, yaitu sungai (lagi).
Ini artinya kami harus menyeberang lagi. Menyeberang di titik itu tidak lama karena aku hanya sempat membuka kotak
makanku dan mengeluarkan tiga potong roti untuk tiga temanku yang mau. Sepotong
roti yang mereka makan habis seiring habisnya perjalanan di kapal
penyeberangan. Begitu sampai di seberang perjalanan
kami belum berakhir. Temanku
Puji sudah tidak sabar untuk
segera sampai dan terus bertanya apakah masih jauh atau sudah dekat.
Kami pun melanjutkan perjalanan. Dan akhirnya kami sampai
di rumah Rafi’i. Salam
dan ketakjubanku sudah aku ungkapkan di awal jadi ceritanya langsung ke bagian kami di dalam rumah ya.
Ah cerita ini terasa begitu monoton pengemasannya karena aku di buru waktu.
Maaf pembaca aku harus meningkatkan kisah
perjalanan ini.
Sampai
di rumah Rafi’i kami bertemu dan bersalaman dengan
bapak dan ibunya Rafi’i. Wow..
mereka adalah keluarga yang mirip satu sama lain. Aku
yakin yang lain berpendapat demikian. Tak lama melepas penat kami duduk di
dalam rumahnya yang aku bilang ini keren. Desainnya yang menakjubkan.
Maaf no time menjelaskan bagaimana
bentuknya. Sekali lagi karena waktu yang terbatas. Penat kami hilang
dapat hidangan kue dari sagu juga air putih dan disusul dengan makan siang. Wow
enak sekaliii.
Seusai makan, dengan perasaan yang aku juga tidak begitu paham
perasaan ini bagaimana aku, Fauziah dan Widya
pergi ke belakang untuk membantu cuci piring ditemani
ibunya rafi’i. Aku yang mencuci, Widya
yang membilas dan Fauziah yang mengobrol dengan ibunya Rafi’i.
Selesai dari sana kami berkunjung ke rumah pamannya Rafi’i
yang ada di samping rumah Rafi’i. Setelah itu kami berfoto
bersama mereka dan selanjutnya pergi untuk rute selanjutnya yaitu ke Tenggarong.
Tenggarong
tidak begitu menarik perhatianku,karena dari keseluruhan perjalanan ini yang
menarik bagiku adalah perjalanan itu sendiri dan bukan tempat tujuan. Di musium
tidak ada yang begitu menarik perhatianku kecuali sedikt yaitu akin tenun.
Ruangan yang sepi dan gelap dan sepertinya tidak banyak menari perhatian orang
itu justru menarik perhatianku. Maaf lagi – lagi aku tidak bisa menjelaskan
detailnya. Aaahhh, ada banyak yang ingin aku
sampaikan tapi waktu berkata lain.
Beranjak
dari musium Tenggarong kunjungan kami lanjutkan ke Planetarium Tenggarong.
Di sana tidak banyak ternyata yang dapat
di saksikan seperti bayanganku. Kami hanya
menyaksikan pertunjukkan berdurasi 45 menit
dengan konten tata surnya dan film animasi pendek. Arini dan
fauziah sempat mengalami pertunjukkan mereka sendiri di luar pertunjukkan yang
ditampilkan. Aku hanya bisa tertawa sambil menikmatinya. Mereka berdua tertidur dalam “bioskop” itu. Hehehe. Dengan berakhirnya
pertunjukkan maka berakhir pula perjalanan kami ini.
Saatnya perjalanan pulang.
Aku
bahkan tidak sempat merasakan lapar karena perjalanan ini. Andai kata ada lebih
banyak waktu untuk menunggu mungkin aku akan benar – benar merasakan kelaparan
tapi karena banyak waktu untuk perjalanan aku bahkan lupa bagaimana rasanya
lapar. Perjalanan pulang tidak sesuai dengan rencana. Rencana kami akan pulang
pukul 3 sore ternyata sampai di rumah kami setelah
masuk waktu Ssya. Perjalanan pulang terasa lebih
cepat karena kami mempercepat laju kendaraan kami sehingga waktu yang
diperlukan pun lebih sedikit untuk sampai di rumah. Huwaaahhh, perjalanan yang melelahkan namun menyenangkan.
–Selesai-
Oleh Sanda Hakim Saputri. Mahasiswi
Pendidikan Biologi, FKIP Unmul, Angkatan 2012.